Penulis : Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, M.Pd.
(Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia)
Sumber Gambar : nasional.tempo.co
Jika saya bertemu langsung dengan Bapa Suci Paus, pemimpin tertinggi umat Katolik dunia, saya akan bingung menyapa beliau dengan salam apa? Saya tidak paham salam dalam iman Katolik untuk memuliakan beliau, mungkin saya memilih menangkupkan kedua tangan di depan dada lalu berkata "Welcome to Indonesia His Holiness Pope"
Saya tidak akan bertemu Sri Paus yang akan datang ke Indonesia dalam rangkaian lawatan apostolik beliau di Asia dan Oceania. Namun, saya hanya bisa melihat dari sisi makna kehadiran Paus ke Indonesia yang dinarasikan ke dalam tiga kata kunci yaitu Iman, Persaudaraan dan Welas Asih (faith, fraternity & compassion).
Bukan sebuah kebetulan tiga tema besar dari perjalanan Sang Gembala gereja Katolik seluruh dunia ini diangkat dan menjadi isu penting di tengah keadaan dunia yang sedang berkecamuk penuh dengan degradasi keimanan, alienasi kemanusiaan, dan menghilangnya bela rasa.
Dalam konteks Indonesia, kehadiran Paus bak memberi kesejukan di tengah meningkatnya eskalasi suhu politik pasca pemilu dan persiapan perhelatan Pilkada serentak. Datangnya Paus memberikan kita suguhan diskursus alternatif di tengah linimasa publik yang terus-menerus menyoal pasang surut kekuasaan dan materialisme politik praktis.
Terlebih Paus, seperti diberitakan, datang dengan penuh kesederhanaan dan tidak meminta perlakuan istimewa hanya sebatas sambutan sebagai tamu negara. Sebuah teladan yang layak ditiru saat masih banyak terjadi tren hedonis berlebihan yang berpotensi memberikan role model negatif bagi generasi berikutnya.
Ketua STABN Sriwijaya Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, M.Pd.
Pemimpin Vatikan ini juga dikabarkan akan melakukan perjumpaan lintas iman dengan semua pemeluk agama di Indonesia, termasuk mengunjungi Masjid Istiqlal di Jakarta. Aktivitas Paus ini memberi contoh konkret bahwa keimanan berada pada realitas doktrinal namun ada realitas sosiologis yang juga harus dirawat, yah perbedaan.
Agamawan seperti Paus Fransiskus juga tidak melupakan kaum marginal dan terpinggirkan yaitu mereka-mereka yang jauh dari keadilan, kenyamanan dan keterpenuhan. KWI mengkonfirmasi bahwa Bapa Suci juga akan bertemu dan berdialog dengan kelompok-kelompok ini untuk mendengar harapan-harapan mereka yang mungkin selama ini tidak pernah didengar, apalagi dipenuhi.
Rawuh-nya Sri Paus ke Indonesia membuka mata kita semua bahwa bangsa kita masih memiliki PR besar yaitu penguatan fungsi agama dan keyakinan sebagai refleksi mendalam dan inspirasi untuk menjawab pelbagai persoalan manusia dan lingkunganya mulai dari kemiskinan, kebodohan dalam arti luas, dan ketimpangan.
Paus hanya 4 hari di Indonesia, namun kesediaan beliau hadir dalam berbagai agenda di tanah air memberikan kita penguatan dan legacy untuk berbenah dari berbagai dimensi yaitu tatanan sosial, karakter penyelenggaraan negara dan transformasi sosial.
Mungkin kebetulan juga, Pope Francis menjadwalkan kunjungan saat masa transisi kepemimpinan nasional. Melalui semiotika universal, semoga pesan-pesan Paus ini dapat menggugah para penyelenggara negara periode berikutnya untuk dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan fundamental bangsa dan membawa Indonesia menapaki kemajuan berikutnya.
Good Bye Pope. Gracias!