Penulis : Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, M.Pd.
(Ketua Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten, Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia)
Waisak di Candi Jiwa
Selama 45 tahun membabar ajaran semasa hidupnya, Buddha Gotama telah mewariskan Dharma hingga saat ini yang dikenal dengan Agama Buddha. Pangeran Siddharta Gotama yang akhirnya menjadi Buddha adalah contoh bahwa melakukan kebajikan yang membawa kebermanfaatan, kesejahteraan dan keselamatan bagi khalayak akan selalu diingat tidak lekang oleh waktu. Bagi umat Buddha waisak adalah momentum apresiasi agung atas kesempurnaan parami (kebajikan) yang dilakukan oleh Buddha Gotama semasa hidupnya mulai dari fase celestial menjadi pangeran suku sakya, fase asketis, fase pencapaian pencerahan sempurna (enlightenment), fase pembabaran ajaran hingga fase menuju kemangkatan (parinibbana).
Selama fase pembabaran ajaran, Buddha Gotama dikenal luas di Jambudvida (India dan Nepal sekarang) sebagai seorang guru spiritual yang memilih untuk berkelana untuk mengajar dharma. Jalan sunyi yang membuat Buddha menerima banyak permohonan dari umat dan murid untuk dapat diterima menjadi pengikutnya. Konsistensi untuk terus membabarkan Dharma dan menerima permohonan ini melahirkan komunitas besar yang disebut Sangha dan menjadikanya sebagai pemimpin dengan otoritas penuh. Pengikut dari kalangan umat perumahtangga juga berangsur meningkat seiring dengan makin diterimanya ajaran Buddha sebagai antitesis dari kegamangan dan pertanyaan-pertanyaan manusia yang selama ini belum terjawab seperti kelahiran, usia tua, sakit, dan kematian.
Buddha tidak menyia-nyiakan waktu selama kapasitas jasmani, kewaskitaan, serta otoritasnya masih ada beliau terus-menerus berceramah, mengajak diskusi, menjawab debat, menuntun pemahaman, menyadarkan yang ragu, menerima penahbisan siswa, dan merawat yang sakit tanpa melihat latar belakang dan status sosial yang menjadi kultur paternalistis saat itu. Meski tidak mudah, Buddha meretas sekat-sekat formalistis dalam struktur kemasyarakatan sosial yang partisan. Buddha juga kembali mengajar kepada mereka yang tidak percaya dengan dirinya dan meyakinkan semua pengikutnya bahwa segala yang dimiliki adalah tidak kekal (anicca), tidak untuk dicengkeram dan dilekati selamanya.
Ketua STABN Sriwijaya Dr. Li. Edi Ramawijaya Putra, M.Pd.
Waisak di tahun 2024 ini adalah Waisak ke-2568 BE (Buddha Era) yang diperingati oleh umat Buddha dunia dan juga Indonesia. Kontemplasi Waisak yang utama bukanlah selebrasi hari besar melainkan terhadap sosok Buddha yang dengan usahanya sendiri memberikan pelayanan tanpa batas dan pamrih. Meski bukan sebagai pemimpin politik atau sistem kekuasaan tertentu, Buddha telah meninggalkan legacy nilai-nilai teladan kepemimpinan yang patut untuk direnungi.
Prinsip Jalan Tengah
Ajaran Buddha menitikberatkan pada prinsip “jalan tengah†sebagai doktrin utama melepaskan diri dari lingkaran tumimbal lahir tak berujung. Prinsip ini mendorong untuk berusaha menempatkan diri pada paradigma yang non-ekstrem. Dalam pengertian ini setiap eksistensi harus dilihat sebagai bukan aku (not-self), dan tiada aku (no-self) dan tanpa aku (non-self). Tidak ada satupun keadaan yang dapat dipegang selamanya dan tidak juga terjadi begitu saja tanpa keadaan lain yang mengikuti atau menyebabkannya. Oleh karena itu “ke-aku-an†bersifat fana yang harus diwaspadai agar tidak muncul bibit-bibit keangkuhan dan kesombongan dalam diri.
Bangsa Indonesia baru saja telah melalui tahapan pemilu 2024 yang sangat menguras banyak sekali energi, emosi dan biaya. Pemilu ini telah menghasilkan pemimpin-pemimpin yang akan duduk di kursi legislatif dan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden terpilih). Tidak lama lagi, perhelatan Pemilukada juga akan segera kita masuki. Harapan besar seluruh anak negeri ini bahwa pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi tersebut dapat berbuat dan berusaha untuk meninggalkan warisan kepemimpinan. Sebuah legacy yang menyasar kepada seluruh tumpah darah tanah air Indonesia tidak hanya terbatas pada oligarki dan “circle politik†atas dasar transaksional dan pragmatis.
Pesta demokrasi harus dimaknai sebagai sebuah sarana berdemokrasi untuk berdaulat, bukan sebagai tujuan akhir. Setiap pemimpin yang dihasilkan dari proses demokrasi harus mampu menata diri dan kelompoknya untuk kembali utuh dalam satu entitas semangat yaitu kebersamaan sebagai sebuah bangsa. Kesadaran leadership ini harus digugah mengingat tiap periodisasi kepemimpinan memiliki batas waktu yang mengikat kapasitas dan otoritas yang dimiliki. Dalam sistem bernegara modern kekuasaan adalah instrumen temporal yang dapat digunakan dan digerakkan untuk mencapai tujuan. Oleh karena itu, masing-masing lini kepemimpinan mulai dari rendah hingga tinggi, daerah hingga pusat memiliki kewajiban untuk menuntun dirinya agar tidak masuk dalam kubangan penyakit kekuasaan seperti perilaku lamban, bermalas-malas hingga koruptif. Sebaliknya, menyadari kemuliaan diri yang diberikan melalui mandat rakyat, setiap pemimpin harus berkontestasi dalam menorehkan warisan kepemimpinan yang akan dikenang sepanjang hayat dan masa.
Selamat Hari Tri Suci Waisak 2568 BE/2024. Semoga semua berbahagia.