form informasi
DUMAS
 
Kontak & Lokasi Kampus
 
 
 
Untitled Document
Selamat datang di STABN Sriwijaya "Buddhistik Unggul Berkarakter". Anda memasuki wilayah Zona Integritas: bebas dari korupsi dan bebas dari gratifikasi    |    STOP PUNGLI !!! Kami TOLAK PUNGLI !!! Ada pungutan liar, laporkan ke: lapor@saberpungli.id ; Call Center: 0821 1213 1323; SMS: 1193 / 0856 8880 881 / 0821 1213 1323; Fax.: 021-345 3085   |   
 
 
Untitled Document
Pendaftaran Online
Program Reguler
Area Mahasiswa  -  Dosen
Alumni
Beasiswa
Galeri
Publikasi P2M
Publikasi P3M
Layanan Informasi
E-Journal
Kuliah Online
Repository
PPID
SW Penerbit
 
Artikel
 
 
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN KECERDASAN SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA TANGERANG BANTEN
23-02-2017 | dibaca 3372 X

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DAN
KECERDASAN SOSIAL DENGAN PRESTASI BELAJAR MAHASISWA
SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
TANGERANG BANTEN


Oleh:
Okta Viani
oviani778@gmail.com

.

Prestasi belajar merupakan tingkat keberhasilan seseorang yang telah dicapai dalam suatu kegiatan, yang dapat memberikan kepuasan emosional serta dapat diukur dengan instrumen ataupun menggunakan tes tertentu (Wahab, 2015: 244). Prestasi belajar yang baik mampu diperoleh bila mahasiswa aktif dan antusias dalam belajar.

Sikap antusias belajar terdapat dalam salah satu khotbah Sang Buddha. Dalam Mahadhammasamadana Sutta (Nanamoli and Bodhi, 2001: 409), dijelaskan bahwa siswa yang berpedoman pada kebenaran, terampil, dan disiplin dalam Dhamma akan memperoleh kebahagiaan dalam kehidupannya. Mahasiswa sebagai seorang siswa juga akan memperoleh nilai atau prestasi belajar yang bagus apabila terampil, disiplin, dan bersemangat dalam belajar.

Tingkat prestasi belajar seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor eksternal dan internal (Wahab, 2015: 248). Faktor eksternal mencakup lingkungan keluarga, lingkungan sosial, dan lingkungan masyarakat. Lingkungan sangat berperan dalam meningkatkan prestasi belajar mahasiswa. Lingkungan disini adalah tempat mahasiswa melakukan interaksi dengan orang lain, termasuk teman-temannya. Seorang teman mampu memberikan pengaruh positif ataupun negatif dalam belajar, seperti memberikan semangat dalam proses pembelajaran dan lain-lain.

Dalam agama Buddha, pengaruh teman terhadap kehidupan seseorang terdapat pada Dhammapada, Bhikkhu Vagga syair 376 (Norman, 2004: 55), yang menyebutkan bahwa bergaul dengan teman-teman yang berguna dan penuh semangat, serta yang bermatapencarian benar. Semoga ia menjadi seseorang yang ramah dan bekelakuan baik; sehingga dengan diliputi oleh kegembiraan dan penuh kegembiraan ia akan mengakhiri penderitaan.” Kutipan Dhammapada tersebut menunjukkan bahwa teman memiliki peran yang penting di dalam kehidupan seseorang. Ketika seorang mahasiswa memiliki teman yang baik, maka mahasiswa tersebut akan menjalani kehidupan dengan benar. Hal ini terjadi karena saat berkumpul dengan orang-orang yang rajin dan bersemangat, maka mahasiswa tersebut akan termotivasi untuk menjadi rajin. Apabila hal ini diteruskan, secara perlahan prestasi belajar mahasiswa tersebut akanmeningkat.

Faktor internal yang mempengaruhi prestasi belajar mencakup, bakat, minat, motivasi, dan kecerdasan. Kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi seperti kepandaian dan ketajaman pikiran (Sugono, dkk., 2008: 262). Dalam Dhammapada, Pandita Vagga syair 89 (Norman, 2004: 13), Sang Buddha menjelaskan kecerdasan bukan hanya suatu kemampuan yang dapat dilihat. Pikiran yang bebas dari kekotoran batin juga merupakan suatu bentuk dari kecerdasan. Seseorang yang cerdas mampu menyempurnakan pikirannya supaya terbebas dari kekotoran batin.

Kecerdasan seseorang berkembang dengan baik apabila ada faktor yang mendukung. Purwanto (2011: 55-56), menyatakan bahwa terdapat lima faktor yang mempengaruhi kecerdasan atau intelijensi seseorang yaitu pembawaan, kematangan, pembentukan, minat dan pembawaan yang khas, dan kebebasan. Beberapa faktor di atas tidak dapat berdiri sendiri. Antara satu dengan yang lainnya akan saling mendukung sehingga untuk menentukan cerdas atau tidaknya seseorang, tidak bisa hanya dengan berpedoman pada salah satu faktor saja. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki gen bawaan dengan IQ yang tinggi tidak akan berkembang bila tidak didukung dengan motivasi belajar yang kuat. Potensi untuk menjadi anak yang jenius pun tidak akan pernah muncul. Oleh karena itu, kecerdasan seseorang baru akan berkembang dengan baik apabila kelima faktor di atas saling mendukung satu dengan yang lainnya.

Kecerdasan juga tidak dapat dipisahkan oleh emosi. Emosi merupakan luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat (Sugono, dkk, 2008: 368). Kecerdasan emosional adalah suatu kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola emosi, dan mengekspresikannya ke dalam hal-hal yang positif. Kecerdasan emosional dalam agama Buddha terlihat dari sikap seseorang dalam mengendalikan dirinya. Dalam Dhammapada, Bhikkhu Vagga syair 361 (Norman, 2004: 53), Sang Buddha menjelaskan bahwa pentingnya pengendalian diri dalam kehidupan seseorang. Ketika seorang bhikkhu atau umat awam mengendalikan pikiran, ucapan, dan perbuatannya, maka orang tersebut sebenarnya sedang melatih emosi yang ada dalam dirinya.

Kecerdasan juga berhubungan dengan kehidupan sosial di masyarakat. Untuk menumbuhkembangkan otak dan pola pikir, seseorang memerlukan interaksi. Kecerdasan sosial adalah kemampuan seseorang dalam menjalin hubungan dan berinteraksi sosial dengan orang lain. Seseorang yang mampu membina hubungan baik dengan orang lain akan menciptakan keharmonisan serta kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Saraniyadhamma Sutta (Nyanaponika dan Bodhi, 2003: 379-380), Sang Buddha menjelaskan bahwa seseorang harus berpikir, berucap, dan berperilaku dengan cinta kasih kepada semua orang, baik di tempat umum maupun tidak. Ketika mahasiswa berperilaku penuh cinta kasih, maka orang lain akan menghormatinya. Sikap saling menghormati antarmahasiswa akan mewujudkan rasa kebersamaan dan kerukunan.

Kecerdasan emosional dan sosial mahasiswa akan diasah secara mendalam saat pembelajaran berlangsung di dalam lingkungan pendidikan. Salah satu institusi pendidikan yang melakukan hal tersebut adalah Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Negeri Sriwijaya Tangerang Banten. STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten sering mengadakan seminar dan dialog akademik, merekrut dosen-dosen dan pegawai yang profesional, menyediakan fasilitas kampus yang memadai, serta meningkatkan pemahaman mahasiswa dalam pembelajaran melalui ujian dan penugasan. Tujuan ujian dan penugasan yang dilakukan yaitu mengetahui pemahaman mahasiswa dalam proses belajar, sehingga akan meningkatkan prestasi belajarnya.

Namun faktanya, prestasi belajar mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten masih rendah. Hal ini dapat dilihat dari nilai Ujian Tengah Semester (UTS) atau Ujian Akhir Semester (UAS) beberapa mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya yang tidak memenuhi syarat nilai minimal kelulusan. Hal tersebut akan berimbas pada nilai IP mahasiswa yang akan diperolehnya.

Seorang mahasiswa yang berinisial R menyatakan bahwa nilai IP semester 4-5 turun sedikit karena kurang paham materi pada saat pembelajaran, sehingga merasa jengkel. R juga mengatakan bahwa kalau lagi jengkel tidak dapat mengerjakan tugas kuliah dan UAS dengan baik (Wawancara, 30 Desember 2015). Ini membuktikan bahwa emosi atau perasaan yang sedang dialami mahasiswa berpengaruh terhadap nilai yang diperoleh pada saat mengerjakan tugas kuliah ataupun UAS. Jika nilainya turun, maka akan mempengaruhi nilai IP yang diperoleh mahasiswa.

Seorang mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya yang berinisial P mengatakan bahwa dia tidak bisa belajar jika memiliki suatu masalah (Wawancara, 4 November 2015). Pernyataan mahasiswa tersebut membuktikan bahwa emosi juga mempengaruhi proses pembelajaran. Mahasiswa yang memiliki emosi tidak stabil menjadi sulit dalam mengingat materi pelajaran dan kurang bisa berkonsentrasi saat proses pembelajaran di kelas berlangsung. Apabila hal ini terus berlanjut akan mengakibatkan IP mahasiswa tersebut menjadi buruk. Untuk itu, perlu adanya pengelolaan emosi yang baik dan tepat dari mahasiswa. Mahasiswa yang mampu mengelola emosi dengan baik akan membantunya dalam memahami materi pelajaran yang diajarkan, sehingga IP akan meningkat.

Meskipun demikian masih ada beberapa mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya yang belum bisa mengelola emosi dengan benar. Pada saat sedang berada dalam sebuah forum diskusi, ada dua mahasiswa yang berdebat mengenai materi pembelajaran (Observasi, 25 November 2015). Perdebatan tersebut terjadi karena mahasiswa kurang bisa menerima pendapat dari orang lain. Hal ini membuat mahasiswa menjadi bermusuhan dan cenderung berbicara kasar dengan temannya, dan menolak bekerjasama dalam kelompok belajar. Berdasarkan hal tersebut, mahasiswa belum bisa mengelola emosinya dengan baik.

Pengelolaan emosi yang baik dapat dilakukan jika mahasiswa dapat memahami diri sendiri dan orang lain. Mahasiswa yang dapat mengelola emosi dengan baik akan mampu membangun hubungan baik dengan lingkungan sosial. Ketika berada di lingkungan sosial, mahasiswa cenderung membutuhkan bantuan orang lain, khususnya teman sebaya. Teman sebaya sangat berperan penting karena dapat membantu mahasiswa dalam menunjukkan hal positif maupun negatif, serta membantu dalam proses pembelajaran.

Hal tersebut merupakan salah satu ciri-ciri sahabat yang baik. Sahabat yang baik dalam agama Buddha disebut sebagai kalyanamitta. Kalyanamitta merupakan teman yang selalu menemani dalam keadaan susah maupun senang serta dapat menunjukkan perbuatan yang baik dilakukan atau tidak. Dalam proses pembelajaran kalyanamitta akan membantu seseorang dalam memahami pembelajaran yang diberikan oleh dosen dan memotivasi untuk belajar. Selain teman yang baik perlu adanya pengelolaan emosi yang baik pula, supaya dapat meningkatkan prestasi belajar mahasiswa.

Emosi erat kaitannya dengan perasaan seseorang. Dalam agama Buddha perasaan dikenal dengan vedana. Emosi dapat dikelola dengan cara menyadari bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal (anicca), dan hasil perbuatan yang dilakukan seseorang selalu berhubungan dengan kamma. Hubungan antara mengelola emosi serta interaksi sosial dalam memperoleh prestasi belajar belum sepenuhnya diketahui dan dipahami.

Berdasarkan hal-hal di atas, kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial diduga berhubungan dengan prestasi belajar mahasiswa. Mahasiswa yang mampu mengelola emosi serta dapat berinteraksi sosial dengan baik, akan lebih percaya diri dan aktif dalam proses pembelajaran di kampus. Secara tidak langsung, hal ini akan meningkatkan prestasi belajar mahasiswa ke arah yang positif. Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian lebih lanjut tentang hubungan antara kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial dengan prestasi belajar mahasiswa STAB Negeri Sriwijaya Tangerang Banten.

.

Selengkapnya, silahkan unduh


 
 
Profil Bulan Ini
 
 
Upacara Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI
Upacara Bendera
   
 
 
 
     
 
Alumni Sukses
     
 
Tetap Berusaha dan Pantang Menyerah
Kesuksesan
   
 
 
 
     
Berita
 
 
STABN Sriwijaya dapat atensi komunitas Buddhist dunia
STABN Sriwijaya dapat atensi komunitas Buddhist dunia
   
Ketua STABN Sriwijaya Lakukan Audiensi dengan Pelaksana Jabatan Bupati Tangerang Terkait Perubahan Bentuk Menjadi Institut Agama Buddha Negeri
Ketua STABN Sriwijaya Lakukan Audiensi dengan Pelaksana Jabatan Bupati Tangerang Terkait Perubahan Bentuk Menjadi Institut Agama Buddha Negeri
   
 
 
 
     
 
Artikel
     
 
Tingkat Keaktifan Mahasiswa dalam Perkuliahan di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya
Bahwa keaktifan bertanya mahasiswa dalam perkuliahan di Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya dapat dikategorikan "Sering" menurut 53 orang
   
TINGKAT KEPUASAN MAHASISWA TERHADAP LAYANAN AKADEMIK SEKOLAH TINGGI AGAMA BUDDHA NEGERI SRIWIJAYA
Tingkat kepuasan mahasiswa terhadap layanan akademik STABN Sriwijaya sebesar 75,52% yaitu mahasiswa merasa puas terhadap layanan yang diberikan
   
 
 
 
     
    All Right Reserved © STABN SRIWIJAYA